China menjadi pemborong utama minyak kelapa sawit mentah (CPO) dari Indonesia di tengah penurunan permintaan dari Eropa. Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), selama tahun 2022, Indonesia berhasil mengekspor sebanyak 6,35 juta ton CPO ke China.
Catatan tersebut menjadikan China sebagai pemimpin dalam daftar negara tujuan ekspor kelapa sawit dari Indonesia, mengungguli India dengan jumlah ekspor sebesar 5,54 juta ton. Bahkan China menjadi pasar potensial sawit Indonesia.
Ekspor Kelapa Sawit ke China
Meski menerima banyak permintaan dari China, Eddy menekankan pentingnya bagi Indonesia untuk tetap menjaga stabilitas permintaan dari pasar utama kelapa sawit RI. Dia secara khusus memperingatkan agar tidak terjadi penurunan permintaan dari India.
Sawit kita sungguh merupakan karunia Allah. Meskipun India mungkin memiliki kemampuan tanam yang hebat, produksinya tetap terbatas. Karena memang yang paling cocok untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah Indonesia dan Malaysia, yang berada di sekitar khatulistiwa. Mereka mungkin bisa menanam sawit, namun produktivitasnya tidak dapat menandingi kita,” jelas Eddy setelah acara.
Eddy menyatakan bahwa dalam dua bulan terakhir, ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia telah meningkat ke negara-negara seperti China, Bangladesh, dan Belanda. Sementara itu, penurunan permintaan terjadi dari India, Italia, Malaysia, Pakistan, dan Amerika Serikat.
Pada Januari 2023, total ekspor CPO dari Indonesia mencapai 2,94 juta ton. Angka tersebut sedikit turun pada bulan Februari menjadi 2,91 juta ton.
Eddy menyatakan bahwa penurunan ekspor kelapa sawit terjadi karena harga saat ini rendah. Selain itu, rasio antara Kewajiban Pasar Dalam Negeri (DMO) dan ekspor telah meningkat dari 1:8 menjadi 1:6, yang menyebabkan beban ekspor semakin bertambah.
Populasi Turun, Ekspor Sawit ke China Masih Potensial
Potensi ekspor kelapa sawit Indonesia ke China dinilai masih besar. Potensi itu dinilai masih kuat meskipun saat ini terjadi kecenderungan penurunan populasi penduduk di Negeri Tirai Bambu tersebut.
Soft Commodity Analyst Bloombreg Alvin Tai mengatakan, penurunan populasi itu akan menyebabkan permintaaan minyak goreng menurun. Namun demikian, kata dia, dampak tersebut tidak akan terjadi secara langsung.
Penurunan kebutuhan tersebut tidak mungkin terjadi secara langsung. Artinya, masih ada kemungkinan permintaan kelapa sawit yang tetap tinggi untuk beberapa tahun ke depan.
Memprediksi, Pasar China akan mengalami penurunan kebutuhan sait dalam dua tahun ke depan. Meski begitu, masih ada peluang bagi Indonesia untuk mengekspor kelapa sawit ke negara tersebut sebelum permintaan benar-benar menurun.
Sementara, Market Analyst and Agriculture Research Refinitiv Oriando Rodriguez menyatakan, permintaan terhadap binergi semakin meningkatkan kebutuhan dunia terhadap kelapa sawit. Permintaan minyak nabati secara global diprediksi akan meningkat karena adanya percepatan berbagai program yang mendukung energi berkelanjutan.
Disebutkan, pada 2022, produksi etanol mencapai 14 juta galon lebih, sedangkan biodiesel menembus 17 juta galon. Ia memprediksi, produksi biofuel bakal naik terus samapai 2025. Maka, dia menyatakan bahwa beberapa hal penting perlu menjadi perhatian bagi pasar minyak nabati internasional.
Hal-hal tersebut meliputi pertumbuhan suplai minyak nabati secara global, peningkatan permintaan, dan ekspansi pasar biofuel. Konflik yang sedang berkembang saat ini, seperti antara Rusia dan Ukraina, juga dapat mempengaruhi stabilitas permintaan dan pasokan.
Selain itu, kondisi ekonomi Amerika Serikat, China, dan Eropa yang sedang tidak begitu stabil, serta EI Nino juga harus menjadi perhatian. Itu karena akan berdampak pada pasokan minyak kelapa sawit dan minyak nabati lainnya secara global di tengah meningkatnya kebutuhan yang telah dipastikan di seluruh dunia.